Jangan menutup halaman ini.
Kata Inflasi tentu sudah tak asing lagi di
telinga, apalagi jika menyangkut pemberitaan stabilitas perekonomian dan
akhir-akhir ini banyak sekali pegiat kripto yang menghubungkan penurunan harga
kripto berhubungan dengan naiknya inflasi di Amerika. Secara umum, inflasi adalah suatu
keadaan di mana terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa. Sementara itu
pengertian inflasi atau apa itu inflasi sebagaimana dikutip dari laman resmi
Bank Indonesia (BI), inflasi adalah diartikan sebagai kenaikan harga barang dan
jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kebalikan dari
inflasi adalah deflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
Inflasi memiliki dampak yang seringkali
dihubungkan dengan efek negatif akibat melonjaknya harga barang dimana daya
beli masyarakat turun dan harga barang mengalami kenaikan. Dampak yang lebih
lanjut akibat inflasi yang tidak terkendali adalah standar hidup masyarakat
yang terus menurun sehingga makin menambah kemiskinan. Inflasi yang tidak
terkendali juga akan menciptakan ketidakpastian dalam dunia ekonomi sehingga
menyulitkan pelaku ekonomi untuk melakukan invesetasi dan konsumsi masyrakat
sehingga pertumbuhan ekonomi akan turun. Dampak yang paling nyata bagi ekonomi
makro adalah kenaikan suku Bunga yang biasanya diambil oleg bank sentral untuk
melaju tekanan inflasi yang semakin naik, akan tetapi kenaikan suku bunga ini akan sedikit banyak menekan ekspansi ekonomi para
pelaku ekonomi dimana kenaikan suku bunga juga akan mengakibatkan kenaikan
bunga perbankan sehingga pelaku ekonomi akan semakin berat untuk mengenkspansi
usahanya.
Inflasi Amerika
Adanya wabah pandemi Covid-19 semenjak tahun 2020 yang berdampak pada pembatasan kegiatan ekonomi di berbagai dunia menyebabkan pertumbuhan ekonomi di berbagai dunia menurun dan meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan dan untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi berupa pelonggaran kuantitatif (Quantitive Easing) untuk membantu warga masyarakat Amerika pada tahun 2021 sebesar Rp 27,3 kuadraliun (asumsi $14.000/US$) dimana merupakan stimulus terbesar sepanjang sejarah yang pernah dilakukan oleh Negara Amerika. Pemberian stimulus ini dilakukan dengan cara pembelian aset-aset berharga beberapa perusahaan di Amerika guna menopang kinerja perusahaan-perusahaan Amerika dan pemberian stimulus secara langsung kepada masyarakat layaknya program bantuan BLT di Indonesia. Di satu sisi, stimulus yang dilakukan oleh Negara Amerika tersebut akan mempercepat pemulihan ekonomi Negara Amerika, akan tetapi satu sisi, dengan melimpahnya likuiditas mata uang dollar akan berdampak pada jumlah peredaran mata uang Dollar yang beredar terlalu banyak sehingga mengakibatkan penurunan mata uang Dollar. Kebijakan yang diambil oleh Amerika ini sebenarnya pernah diambil pada tahun 2008 saat Amerika diterjang Krisis Keuangan Subprime Mortgate dan setelah itu kebijakan untuk melakukan recovery yang disebut Taper Tantrum menimbulkan keguncangan pada dunia ekonomi akibat agresifnya Bank Sentral Amerika, FED (Federal Reserve) untuk menarik stimulus yang dikeluarkannya.
Taper Tantrum
Berdasarkan Investopedia, Taper Tantrum merupakan istilah yang digunakan oleh media ekonomi untuk menggambarkan kebijakan bank sentral dengan carra mengurangi pembelian aset dan menarik mata uang dollar yang telah beredar selama stimulus berlangsung dengan cara menaikan suku bunga. Hal ini membuat investor asing berbondong-bondong mencabut investasinya dari pasar keuangan negara emerging market seperti Indonesia untuk kembali ke Amerika karena mempunyai imbal hasil yang lebih menarik. Keadaan ini tentunya akan menjadi pertanda kurang baik untuk negara lain, khususnya Indonesia yang masih bergantu pada investor asing dan dampak lain seperti penurunan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing serta menyebabkan kenaikan harga-harga barang, khususnya harga barang impor di Indonesia.
Melihat dari tabel inflasi Amerika dari tradingeconomic.com, Inflasi Amerika dari Bulan Agustus 2021-Juli 2022 secara trend terus mengalami kenaikan. Bank Sentral Amerika, FED mengumumkan Taper Tantrum pertama kali pada Bulan November 2021 ketika inflasi Amerika pada Bulan November 2021 telah menunjukan adanya peningkatan signifikan sebesar 6,8%. Akan tetapi FED sudah belajar dari Taper Tantrum sebelumnya tahun 2013 dimana keagresifan Taper Tantrum akan berdampak sangat buruk untuk berbagai pasar aset-aset berharga seperti pasar modal, pasar uang, dan aset-aset beresiko lainnya sehingga FED memulai Taper Tantrum semenjak Bulan November 2021 dengan hanya mengurangi pembelian aset-aset berharga dan tidak bertindak agresif.
Pada saat Wabah pandemi Covid-19 berlangsung
untuk mendukung kebijakan stimulus (Quantitive Easing), FED menurunkan suku Bunga
Amerika secara signifikan menjadi 0,25%. Tentunya penurunan suku bunga tersebut
membuat iklim ekonomi untuk melakukan ekspansi menjadi lebih bergairah dan
beban bunga perusahaan-perusahaan besar Amerika akan menjadi semakin ringan.
Setelah mengumumkan kebijakan Taper Tantrum pada November 2021, Fed kemudian
mulai menaikan suku bunga Amerika secara bertahap pada Maret 2022 ketika
inflasi Amerika sudah dinggap tidak terkendali yang sudah mencapai 8,5%. Sebagai analogi yang sederhana,
ketika negara dalam krisis, Negara memberikan stimulus dan kebijakan-kebijakan
ekonomi berupa pelonggaran ekonomi kepada masyarakatnya agar tetap menjaga
pertumbuhan ekonomi karena pada saat itu, akses modal, dan beban perusahaan tertekan. Bank Sentral yang merupakan pengendali jumlah
uang yang beredar di masyarakatnya pun kemudian mulai menurunkan suku bunga dan
mencetak uang (printing money) lebih
banyak agar dapat tetap menjaga pertumbuhan ekonomi dengan cara kelonggoran suku bunga serta didukung dengan kebijakan pemerintah berupa kelonggaran ekonomi seperti kelonggaran pajak, restrukturisasi kredit, dll. Perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman dapat membayar
beban bunga, beban operasional, dan pinjaman modal dengan bunga yang lebih
kecil sehingga pelaku ekonomi tetap dapat mengembangkan usahanya. Pada saat ekonomi mulai terecovery, ditandai dengan naiknya jumlah
konsumsi yang dapat dibaca melalui data inflasi, Bank sentral mulai menarik
uang yang beredar sebelumnya dikarenakan jka jumlah yang beredar terlalu
banyak, tentunya nilai mata uang akan terus menurun dan bisa menjadi hyper
inflation seperti negara Zimbabwe yang terus mencetak mata uang sehingga mata
uang Zimbabwe tidak lagi berharga. Penarikan jumlah uang yang beredar ini tentunya
dibarengi dengan dinaikannya suku bunga, dengan kenaikan suku bunga, jumlah uang yang beredar akan lebih cepat dikendalikan. Akan tetapi hal tersebut memiliki konsekuensi. Dampak yang terjadi ketika suku bunga
dinaikkan akan menambah beban keuangan perusahaan-perusahaan yang baru
tumbuh, akses modal dengan bunga yang lebih tinggi, dan dengan naiknya inflasi yang melambung tinggi secara otomatis harga-harga barang mangalami
kenaikan harga, maka akan terdapat resiko meningkatnya kemiskinan.
Inflasi dan Pengaruhnya di Dunia Kripto